Rabu, Agustus 12, 2009


3 HARI 3 MALAM BERBANDING 2 JAM
Disalin ulang oleh : Mr. Arrang



Sebuah pesawat terbang kecil berputar-putar mencari landasan di
tengah-tengah rimba belantara Kalimantan. Sesaat kemudian, pesawat
menukik dan mendarat dengan hati-hati. Sang pilot turun, disusul
satu-satunya penumpang -- seorang hamba Allah yang diundang ke
daerah itu untuk menyampaikan Kabar Baik dari surga. Orang ini agak
terkesiap menatap rombongan laki-laki yang rupanya telah berkumpul
menyambut kedatangannya. Ketua rombongan maju memperkenalkan diri,
dan setelah saling berjabat tangan, mereka pun mulai
berbincang-bincang.

"Berapa jumlah penduduk desa Bapak?" tanyanya berbasa-basi kepada
ketua rombongan.

"Ini semua kepala keluarganya Pak Pendeta," jawab lelaki setengah
usia itu sambil menunjuk pada rombongan penyambut.

Termangu-mangu, pak pendeta itu mendengarkan keterangan ini.
Diam-diam dihitungnya orang-orang yang mengelilinginya. Hanya tiga
puluh kepala! Tanpa disadarinya, terlintas dalam ingatannya gedung
pertemuan yang mahaluas di Ottawa, Kanada, yang memuat lima ribu
orang, yang menjadi penuh sesak tatkala mereka berdatangan untuk
mendengarkan firman yang disampaikannya. Itu baru beberapa minggu
yang lalu.

"Mari, Pak," kata ketua rombongan dengan ramah sambil membuat
gerakan tangan, mempersilakannya berjalan. "Baik," katanya.
Tebersit dalam hatinya, sebuah harapan, semoga jarak yang kini
harus ditempuhnya dengan berjalan kaki, tidaklah terlalu jauh.
Ternyata harapannya buyar. Mereka meninggalkan landasan pesawat itu,
dan memasuki hutan rimba. Tak terpikirkan betapa mengerikan rimba
itu! Hujan yang turun telah menciptakan kubangan-kubangan lumpur
yang bercampur daun-daun membusuk. Bau yang menyebar dari
kubangan-kubangan tersebut sungguh memuakkan! Di sana-sini tampak
gundukan kotoran hewan, entah binatang liar ataukah hewan peliharaan
penduduk. Di kiri kanan jalan setapak, tirai tebal daun-daun serta
sulur-suluran membuat orang enggan menyimpang sedikit pun dari jalan
setapak itu.

Jalan ternyata berliku-liku, turun naik bukit pula! Udara panas luar
biasa, sekalipun sinar matahari hampir tak tampak dalam rimba yang
pekat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya sudah mulai memprotes
siksaan yang tak terduga-duga itu. Kepalanya terasa berdenyut-denyut
nyeri. Kaki bagaikan dibebani berkilo-kilo. Rongga dada serasa
hendak meledak, menahan napas yang memburu sehingga menimbulkan
desah yang ramai pula. Matanya mulai berkunang-kunang. Langkahnya
pun sudah terhuyung-huyung dengan kepala merunduk berat. Ia
benar-benar membutuhkan istirahat. Tetapi baru saja ia hendak minta
kepada pengantarnya agar mereka berhenti dulu, telinganya menangkap
suara orang ramai.

Ia mengangkat kepala. Mereka berada di puncak sebuah bukit. Di bawah
terhampar pemandangan yang membuatnya terharu. Beratus-ratus ...
tidak, beribu-ribu orang laki perempuan tampak hiruk-pikuk membuat
barisan panjang menuju sebuah "rumah adat".

"Mereka ... ?" tanyanya heran pada pengantarnya.

"Ya," jawab yang ditanya, "mereka tahu Bapak akan datang. Mereka
datang dari kampung-kampung yang tersebar di wilayah yang luas. Ada
di antara mereka yang berjalan 3 hari 3 malam untuk berbakti
bersama-sama."

3 hari 3 malam! Ia melihat, jam tangannya menunjukkan bahwa mereka
sendiri berjalan tak lebih dari 2 jam.

Ia tak mampu berkata-kata lagi. Ia membayangkan perasaan yang
mencekam diri Tuhan Yesus tatkala dilihatnya "orang banyak datang
berbondong-bondong". Kehausan jiwa yang mencari kebenaran pada masa
itu, sekarang pun masih begitu menonjol. Dan ini lebih dirasakannya
lagi ketika kebaktian dimulainya. Suara-suara yang menaikkan
puji-pujian dalam aneka nada memang jauh daripada indah, namun mampu
menggugah hatinya kepada suatu kesadaran yang lebih mendalam, bahwa
Kasih Tuhan ada di mana-mana. Jiwa-jiwa di kota gemerlapan atau di
rimba belantara, sama di mata Tuhan. Tetapi kasih kepada Tuhan,
kiranya tiada yang melebihi kasih yang ada di dalam hati manusia
penghuni rimba ini. Murni dan teguh, demikianlah iman yang membuat
mereka itu menjadi "indah".

Baca Selengkapnya......